24 September, 2007

Tauhid Vertikal dan Tauhid Horisontal

Adapun apa, ke mana, dan bagaimanakah sesungguhnya yang dijalani oleh para
pelaku Rukun Islam, terutama yang ber'revolusi' dengan puasa?

Pilar utamanya adalah tauhid vertikal (tawhid ilahiyyah) dan tauhid horisontal
(tawhid basyariyyah). Tauhid itu proses penyatuan. Penyatuan (ilahiyyah) ke atau
dengan Allah, serta penyatuan ke atau dengan sesama manusia atau makhluk,
memiliki rumus dan formulanya sendiri-sendiri.

Perlawanan terhadap dunia, penaklukan atas diri dan kehidupan untuk
diduniaakhiratkan yang ditawarkan oleh ibadah puasa--sekaligus berarti proses
deindividualisasi, bahkan deeksistensialisasi. Tauhid adalah perjalanan
deeksistensialisasi, pembebasan dari tidak pentingnya identitas dan
rumbai-rumbai sosial keduniaan di hadapan Allah. Segala kedudukan, fungsi dan
peran di dunia dipersembahkan atau dilebur ke dalam eksistensi sejati Allah dan
kasih sayang-Nya. Tauhid sebagai perjalanan deindividualisasi berarti menyadari
dan mengupayakan proses untuk larut menjadi satu atau lenyap ke dalam
wujud-qidam-baqa' Allah. Manusia hanya diadakan, diselenggarakan seolah-olah
ada, ada-nya palsu--oleh Yang Sejati Ada.

Yang juga ditawarkan oleh puasa adalah proses dematerialisasi, atau peruhanian
atau dalam konteks tertentu pelembutan dan peragian. Dematerialisasi bisa
dipahami melalui, umpamanya, konteks peristiwa Isra' Mi'raj. Rasulullah
mengalami proses transformasi dari materi menjadi energi menjadi cahaya. Maka,
dematerialisasi vertikal bisa berarti mempersepsikan, menyikapi dan mengolah
materi (badan, pemilikan, dunia, perilaku, peristiwa) untuk dienergikan menuju
pencapaian cahaya. Fungsi sosial dikerjakan, managemen dijalankan, musik
diciptakan, karier ditempuh, ilmu digali dan buku dicetak, uang dicari dan harta
dihamparkan--tidak dengan orientasi ke kebuntuan dunia sebagai materi yang fana,
melainkan digerakkan ke makna ruhani, pengabdian dan taqarrub kepada Allah,
sampai akhirnya masuk dan bergabung ke dalam 'kosmos' dan sifat-Nya.

Proses dematerialisasi, proses ruhanisasi atau proses transformasi menuju
(bergabung, menjadi) Allah, meminta hal-hal tertentu ditanggalkan dan
ditinggalkan. Dalam bahasa sehari-hari orang bilang: jangan mati-matian mencari
hal-hal yang tidak bisa dibawa mati.

Menanggalkan dan meninggalkan itu mungkin seperti perjalanan transformasi padi
menjadi beras, dan menjadi nasi. Padi menjadi beras dengan menanggalkan kulit.
Beras juga padi, tapi beras bukan lagi padi, sebagaimana padi belum beras. Nasi
itu substansinya padi atau beras, tapi sudah melalui proses suatu pencapaian
transformatif. Para pemakan nasi tidak antipadi, tapi juga tidak makan padi dan
menanggalkan kulit padi. Pemakan nasi sangat membutuhkan beras, tapi tidak makan
beras dan tidak membiarkan beras tetap jadi gumpalan keras. Pemakan nasi
memproses bahan dan substansi yang sama menjadi atau menuju sesuatu yang baru.

Jadi, jika pemburu atau pengabdi Allah tidak antidunia, tidak antimateri, tidak
antibenda, tapi juga tidak menyembah benda, melainkan mentransformasikan
(mengamalsalehkannya), meruhanikannya (menyaringnya menjadi bermakna akhirat).
Bahkan manusia akan menanggalkannya dan meninggalkan dirinya sendiri (gumpalan
individu, wajah, badan, performance, eksistensi dunia), karena 'dirinya' di
akhirat, dirinya yang bergabung ke Allah adalah sosok amal salehnya.

Pada 'citra' waktu, dematerialisasi, peruhanian, deindividualisasi, dan
deeksistensialisasi berarti pengabdian. Pembebasan dari kesementaraan. Yang
ditanggalkan dan ditinggalkan adalah kesementaraan. Segumpal tanah bersifat
sementara, tapi ia difungsikan dalam sistem manfaat dan rahmat, maka fungsinya
itu mengabdi. Sebagaimana gumpalan badan kita serta segala materi eksistensi
kita bersifat sementara, yang menjadi abadi adalah produk ruhani pemfungsian
atas semua gumpalan itu.

Melampiaskan dan Mengendalikan

Juga dalam proses tauhid horisontal, penyatuan berarti sosialisasi pribadi.
Kalau masih pribadi yang individualistik (ananiyyah), ia gumpalan. Begitu
integral-sosial (tawhid basyariyyah), ia mencair, melembut. Yang ananiyyah itu
temporer dan berakhir, yang tauhid basyariyah itu baqa' dan tak berakhir.

Identitas sosial, harta benda, individu, segala jenis pemilikan dunia,
dienergikan, diputar, disirkulasikan, didistribusikan, dibersamakan atau
diabadikan ke dalam keberbagian sosial. Itulah peruhanian horisontal.

Karena itu, proses-proses menuju keadilan sosial, kemerataan ekonomi, distribusi
kesejahteraan, kebersamaan kewenangan dan lain sebagainya--sesungguhnya
merupakan aktualisasi tauhid secara horisontal.

Kita tinggal memperhatikan setiap sisi, segmen dan lapisan dari proses sosial
umat manusia (pergaulan, kebudayaan, negara, sistem, organisasi) melalui
terma-terma materialisasi versus peruhanian, satu versus kemenyatuan,
pensementaraan versus pengabdian, penggumpalan versus pelembutan, sampai
akhirnya nanti pelampiasan versus pengendalian. Budaya ekonomi-industri-konsumsi
kita mengajak manusia untuk melampiaskan. Sementara agama menganjurkan manusia
untuk mengendalikan. Kalau kedua arus itu sama-sama menemukan lembaga dan
kekuatan sejarahnya yang berimbang, konflik peradaban akan serius.

Ibadah puasa merupakan jalan 'tol' bagi perjuangan manusia untuk mencapai
kemenangan di tengah tegangan-tegangan konflik tersebut. Juga dalam pergulatan
antara iradah al-nas dalam arti individualisme individu-kecil dengan iradah
Allah Individu Besar Total.

Kita bisa menolak ke terma sab'a samawat, tujuh langit--
Roh-Benda-Tumbuhan-Hewan-Manusia- Ruhanisasi-Ruh-- bisa kita temukan
siklus-siklus kecil dan besar proses peruhanian yang diselenggarakan oleh
manusia.

Atau terma Empat 'Agama'--'agama'intuitif-instinktif, 'agama' intelektual,
'agama' wahyu, serta 'agama atas agama'--kita bisa menemukan bahwa ketika
penerapan wahyu-Agama terjebak menjadi berfungsi gumpalan-gumpalan, maka 'agama
atas agama' merupakan fenomena peruhanian, kristalisasi substansi. Semua manusia
bekerjasama menempuh nilai-nilai inti peruhanian yang mengatasi
gumpalan-gumpalan aliran, sekte, kelompok, mazhab atau organisasi agama.

Terma lain yang mungkin bisa kita sentuh adalah cakrawala puasa la'allakum
tattaqun. Produk maksimal puasa bagi pelakunya adalah derajat dan kualitas
takwa. Dalam terapan empiriknya, kita mencatat stratifikasi
fiqh/hukum-akhlak-takwa. Kondisi peradaban umat manusia masih tidak gampang
untuk sekadar mencapai tataan manusia fiqh/hukum atau budaya fiqh/hukum. Apalagi
naik lebih lagi ke level akhlak dan takwa.

Tidak ada komentar: